Rabu, 23 November 2016

Fiqih: Wadi'ah & Rahn



Wadi'ah & Rahn


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Muamalah merupakan suatu kegiatan yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan tata cara hidup sesama umat manusia untuk memenuhi keperluannya sehari-hari yang bertujuan untuk memberikan kemudahan dalam melengkapi kebutuhan hidup, untuk saling memahami antara penjual dan pembeli, untuk saling tolong menolong (ta’awul), serta untuk mempererat silaturahmi karena merupakan proses ta’aruf (perkenalan).
          Namun dari beberapa tujuan muamalat tersebut, tidak sepenuhnya terlaksana. Masih banyak masalah-masalah yang terjadi karena proses muamalat tersebut. Diantaranya masih banyak orang yang dirugikan dalam suatu proses muamalat tersebut.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka pedoman dan tatanannya pun perlu dipelajari dan diketahui dengan baik, sehingga tidak terjadi penyimpangan dan pelanggaran yang merusak kehidupan ekonomi dan hubungan sesama manusia.
          Kesadaran bermuamalah hendaknya tertanam lebih dahulu dalam diri masing-masing, sebelum orang terjun ke dalam kegiatan muamalah itu. Pemahaman agama, pengendalian diri, pengalaman, akhlaqul-karimah dan pengetahuan tentang seluk-beluk muamalah hendaknya dikuasai sehingga menyatu dalam diri pelaku (pelaksana) muamalah itu.
Dalam akad muamalat terdapat beberapa transaksi atau akad yang ada, diantarannya adalah akad Al-Wadi’ah, rahn, dsb. Dalam hal ini pemakalah mencoba menjelaskan akad tentang Wadi’ah (titipan) dan Rahn (gadai).
1.2 Rumusan Masalah
a)      Apa pengertian Wadi’ah dan Rahn ?
b)      Apa syarat dan rukunnya Wadi’ah dan Rahn ?
c)      Apa hikmah dari Wadi’ah dan Rahn ?
1.3  Tujuan Penulisan
a)      Agar mampu mengetahui pengertian dari Wadi’ah dan Rahn.
b)      Agar mampu mengetahui syarat dan rukunnya Wadi’ah dan Rahn.
c)      Agar dapat mengerti hikmah dari Wadi’ah dan Rahn.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Wadi’ah
     Kata Wadi’ah berasal dari wada asy syai-a yaitu meninggalkan sesuatu. Sesuatu yang seseorang tinggalkan pada orang lain agar dijaga disebut wadi’ah, karena dia meninggalkannya pada orang yang sanggup menjaga. Secara harfiah, Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.
          Menurut bahasa wadiah artinya yaitu : meniggalkan atau meletakkan. Yaitu meletakan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara atau dijaga.
          Menurut istilah wadiah artinya yaitu : memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya atau barangnya dengan secara terang-terangan atau dengan isyarat yang semakna dengan itu.
         Sedangkan menurut Ulama’ fiqh Wadi’ah mempunyai  2 definisi yaitu:
1.      Ulama madzhab hanafi mendefinisikan
تسليط الغير على حفظ ماله صارحا أو دلالة 
“mengikut sertakan orang lain dalam memelihara harta baik dengan ungkapan yang jelas maupun yang isyarat.”
2.      Ulama madzhab hambali, syafi’I dan maliki ( jumhur ulama ) mendifinisikan wadiah sebagai berikut:
توكيل في حفظ مملوك على وجه مخصوص
   “mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu”
         Sedangkan tokoh-tokoh ekonomi perbangkan berpendapat bahwa wadiah adalah akad penitipan barang atau uang kepada pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan dan keutuhan barang atau uang tersebut.

2.2 Dasar Hukum Wadi’ah

   2.2.1. Dasar Hukum berdasarkan Al-Qur’an

             Wadi’ah diterapkan mempuyai landasan hukum yang kuat yaitu dalam Al-Qurannul karim suroh An-Nisa ayat 58 :
sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah maha mendengar lagi maha melihat.”
Kemudian suroh Al-Baqarah ayat 283:
“Jika kamu dalam perjalaan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain. Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembuyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembuyikan, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

     2.2.2. Dasar Hukum Berdasarkan Sabda Nabi SAW

             Dan dari Abu Hurairah, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Tunaikanlah amanah (titipan) kepada yang berhak menerimanya dan janganlah membalas khianat kepada orang yang menghianatimu. (H.R Abu Daud dan Tirmidzi)

     2.2.3. Dasar Hukum Berdasarkan Fatwa MUI

             Kemudian berdasarkan fatwa dewan syari’ah nasional (DSN) No:01/DSN-MUI/IV/2000. Menetapkan bahwa Giro yang dibenarkan secara syari;ah yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah. Demikian juga tabungan dengan produk Wadi’ah, dapat dibenarkan berdasarkan fatwa DSN No:02//DSN-MUI/IV/2000. Menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip mudharabah dan wadi’i.

2.3 Rukun Wadiah

             Rukun wadi`ah adalah hal-hal yang terkait atau yang harus ada didalamnya yang menyebabkan terjadinya Akad Wadi`ah yaitu :
1. Muwaddi ( orang yang menitipkan )
2. Wadi’I ( orang yang dititipi barang )
3. Wadi’ah ( barang yang dititipkan )
4. Shigot ( Ijab dan qobul )

2.4 Syarat rukun Wadiah

Yang dimaksud dengan syarat rukun disini adalah persyaratan yang harus dipenuhi oleh rukun wadiah. Dalam hal ini persyaratan itu mengikat kepada Muwaddi’, wadii’ dan wadi’ah. Muwaddi’ dan wadii’ mempunyai persyaratan yang sama yaitu harus baligh, berakal dan dewasa. Sementara wadi’ah disyaratkan harus berupa suatu harta yang berada dalam kekuasaan/ tangannya secara nyata.

2.5 Sifat Akad Wadi’ah

Karena wadiah termasuk akad yang tidak lazim, maka kedua belah pihak dapat membatalkan perjanjian akad ini kapan saja, karena dalam wadiah terdapat unsur permintaan tolong maka memberikan pertolongan itu adalah hak dari wadi’i. Kalau ia tidak mau maka tidak ada keharusan untuk menjaga titipan.
   Namun kalau wadi’I mengharuskan pembayaran semacam biaya administrasi maka akad wadi’ah ini berubah menjadi akad sewa “ijaroh” dan mengandung unsur kelaziman. Artinya wadi’I harus menjaga dan bertanggung jawab terhadap barang yang dititipkan. Pada saat itu wadi’I tidak dapat membatalkan akad ini secara sepihak kerena sudah dibayar.

2.6 Jenis Barang yang Diwadi’ahkan

Barang yang bisa di wadi’ahkan adalah seperti:
1. Harta benda.
2. Uang.
3. Dokumen penting (saham, obligasi surat perjanjian dll).
4. Barang berharga lainnya (surat tanah, surat wasiat dll).
3.1 Pengertian Ar-Rahn
Menurut bahasanya,( dalam bahasa Arab ) Rahn adalah: Tetap dan Lestari. Adapun dalam pengertian syara’, ia berarti: menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan Syara’ sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat) barangnya itu.
3.2 Dasar Hukum Ar-Rahn
         Utang-piutang dengan sistem gadai ini diperbolehkan dan disyariatkan dengan dasar al-Quran, as-Sunnah, dan ijma’ kaum muslimin.
Dalil al-Quran adalah firman Allah,
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضاً فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ وَلاَ تَكْتُمُواْ الشَّهَادَةَ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya. Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya. Dan Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. al-Baqarah: 283)
Walaupun terdapat pernyataan “dalam perjalanan” namun ayat ini tetap berlaku secara umum, baik ketika dalam perjalanan atau dalam keadaan mukim (menetap), karena kata “dalam perjalanan” dalam ayat ini hanya menunjukkan keadaan yang biasanya memerlukan sistem ini (ar-rahn).
Hal ini pun dipertegas dengan amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melakukan pegadaian, sebagaimana dikisahkan Ummul Mukminin Aisyah dalam pernyataan beliau,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dari seorang yahudi dengan cara berutang, dan beliau menggadaikan baju besinya.” (Hr. Al-Bukhari no. 2513 dan Muslim no. 1603)
Demikian juga, para ulama bersepakat menyatakan tentang disyariatkannya ar-rahn ini dalam keadaan safar (melakukan perjalanan) dan masih berselisih kebolehannya dalam keadaan tidak safar. Imam al-Qurthubi menyatakan, “Tidak ada seorang pun yang melarang ar-rahn pada keadaan tidak safar kecuali Mujahid, ad-Dhahak, dan Daud (az-Zahiri). Demikian juga Ibnu Hazm.
Ibnu Qudamah menyatakan, “Ar-rahn diperbolehkan dalam keadaan tidak safar (menetap) sebagaimana diperbolehkan dalam keadaan safar (bepergian).
Ibnul Mundzir menyatakan, “Kami tidak mengetahui seorang pun yang menyelisihi hal ini kecuali Mujahid. Ia menyatakan, ‘Ar-rahn itu tidak ada, kecuali dalam keadaan safar, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
“Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).”
Akan tetapi, yang benar dalam permasalahan ini adalah pendapat mayoritas ulama, dengan adanya dalil perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. Al-Bukhari no. 2512).
3.3 Rukun ar-Rahn (Gadai)
Mayoritas ulama memandang bahwa rukun ar-rahn (gadai) ada empat, yaitu:
1.      Ar-rahn atau al-marhun (barang yang digadaikan).
2.      Al-marhun bih (utang).
3.      Shighat.
4.      Dua pihak yang bertransaksi, yaitu rahin (orang yang menggadaikan) dan  murtahin (pemberi utang).
Sedangkan Mazdhab Hanafiyah memandang Ar-Rahn (gadai) hanya memiliki satu rukun yaitu shighah, karena pada hakikatnya dia adalah transaksi.

3.4 Syarat ar-Rahn
Dalam ar-Rahn terdapat persyaratan sebagai berikut:
1.      Syarat yang berhubungan dengan transaktor (orang yang bertransaksi), yaitu orang yang menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal, dan rusyd (memiliki kemampuan mengatur).
2.      Syarat yang berhubungan dengan al-marhun (barang gadai)
a.       Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi utangnya, baik barang atau nilainya ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.
b.      Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang diizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai.
c.       Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis, dan sifatnya, karena ar-rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini.
3.      Syarat yang berhubungan dengan al-marhun bih (utang) adalah hutang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.
3.5  Pengambilan Manfaat Barang Gadai
Jumhur fuqoha’ berpendapat bahwa penerima gadai tidak boleh mengambil sesuatu manfaat pun dari barang gadai kecuali mendapatakan izin dari orang yang menggadaikan.
Ulama’ lain mengatakan bahwa apabila barang gadai itu berupa hewan, maka penerima gadai boleh mengambil air susunya dan menungganginya dalam kadar yang seimbang dengan makanan dan biaya yang diberikan kepadanya. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Ahmad dan Ishaq.
3.6        Hikmah Ar-Rahn
Keadaan setiap orang berbeda, ada yang kaya dan ada yang miskin, padahal harta sangat dicintai setiap jiwa. Lalu, terkadang di suatu waktu, seseorang sangat membutuhkan uang untuk menutupi kebutuhan-kebutuhannya yang mendesak. Namun dalam keadaan itu, dia pun tidak mendapatkan orang yang bersedekah kepadanya atau yang meminjamkan uang kapadanya, juga tidak ada penjamin yang menjaminnya. Hingga ia mendatangi orang lain untuk membeli barang yang dibutuhkannya dengan cara berutang, sebagaimana yang disepakati kedua belah pihak. Bisa jadi pula, dia meminjam darinya, dengan ketentuan, dia memberikan barang gadai sebagai jaminan yang disimpan pada pihak pemberi utang hingga ia melunasi utangnya.
Oleh karena itu, Allah mensyariatkan ar-rahn (gadai) untuk kemaslahatan orang yang menggadaikan (rahin), pemberi utangan (murtahin), dan masyarakat.
Untuk rahin, ia mendapatkan keuntungan berupa dapat menutupi kebutuhannya. Ini tentunya bisa menyelamatkannya dari krisis, menghilangkan kegundahan di hatinya, serta terkadang ia bisa berdagang dengan modal tersebut, yang dengan itu menjadi sebab ia menjadi kaya.
Adapun murtahin (pihak pemberi utang), dia akan menjadi tenang serta merasa aman atas haknya, dan dia pun mendapatkan keuntungan syar’i. Bila ia berniat baik, maka dia mendapatkan pahala dari Allah.
Adapun kemashlahatan yang kembali kepada masyarakat, yaitu memperluas interaksi perdagangan dan saling memberikan kecintaan dan kasih sayang diantara manusia, karena ini termasuk tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa. Terdapat manfaat yang menjadi solusi dalam memperkecil permusuhan, dan melapangkan penguasa.

BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
1.      Wadi’ah
Menurut bahasa wadiah artinya yaitu : meniggalkan atau meletakkan. Yaitu meletakan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara atau dijaga.
Menurut istilah wadiah artinya yaitu : memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya atau barangnya dengan secara terang-terangan atau dengan isyarat yang semakna dengan itu.
Dasar-dasar hukum Wadi’ah adalah:
a.       Dasar hukum berdasarkan Al-qur’an surat An-Nisa ayat 58 dan surat Al-Baqarah ayat 283.
b.      Dasar hukum berdasarkan Hadist Nabi : Dan dari Abu Hurairah, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Tunaikanlah amanah (titipan) kepada yang berhak menerimanya dan janganlah membalas khianat kepada orang yang menghianatimu. (H.R Abu Daud dan Tirmidzi)
c.       Dasar hukum berdasarkan fatwa MUI : Fatwa dewan syari’ah nasional (DSN) No:01/DSN-MUI/IV/2000. Menetapkan bahwa Giro yang dibenarkan secara syari;ah yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah. Demikian juga tabungan dengan produk Wadi’ah, dapat dibenarkan berdasarkan fatwa DSN No:02//DSN-MUI/IV/2000. Menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip mudharabah dan wadi’i.
Rukun-rukun Wadi’ah:
a.       Muwaddi ( orang yang menitipkan )
b.      Wadi’I ( orang yang dititipi barang )
c.       Wadi’ah ( barang yang dititipkan )
d.      Shigot ( Ijab dan qobul )
Syarat rukun Wadi’ah:
a.       Muwaddi’ dan wadii’ mempunyai persyaratan yang sama yaitu harus baligh, berakal dan dewasa.
b.      Wadi’ah disyaratkan harus berupa suatu harta yang berada dalam kekuasaan/ tangannya secara nyata.

Jenis Barang yang Diwadi’ahkan:

1. Harta benda.
2. Uang.
3. Dokumen penting (saham, obligasi surat perjanjian dll).
4. Barang berharga lainnya (surat tanah, surat wasiat dll).
2. Ar-Rahn
   Menurut bahasanya,( dalam bahasa Arab ) Rahn adalah: Tetap dan Lestari. Adapun dalam pengertian syara’, ia berarti: menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan Syara’ sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat) barangnya itu.
           Dasar Hukum Ar-Rahn:
Utang-piutang dengan sistem gadai ini diperbolehkan dan disyariatkan dengan dasar al-Quran, as-Sunnah, dan ijma’ kaum muslimin.
Dalil al-Quran adalah firman Allah,
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضاً فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ وَلاَ تَكْتُمُواْ الشَّهَادَةَ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya. Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya. Dan Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. al-Baqarah: 283).
Rukun Ar-rahn:
a.       Ar-rahn atau al-marhun (barang yang digadaikan).
b.      Al-marhun bih (utang).
c.       Shighat.
d.      Dua pihak yang bertransaksi, yaitu rahin (orang yang menggadaikan) dan  murtahin (pemberi utang).
Sedangkan Mazdhab Hanafiyah memandang Ar-Rahn (gadai) hanya memiliki satu rukun yaitu shighah, karena pada hakikatnya dia adalah transaksi.
Syarat Ar-Rahn:
a.       Rahin dan Murtahin harus sama-sama baligh, berakal, dan rusyd (memiliki kemampuan mengatur).
b.      Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi utangnya, baik barang atau nilainya ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.
c.       Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang diizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai.
d.      Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis, dan sifatnya, karena ar-rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini.
Pengambilan Manfaat Barang Gadai:
Menurut Jumhur fuqoha’ berpendapat bahwa penerima gadai tidak boleh mengambil sesuatu manfaat pun dari barang gadai kecuali mendapatakan izin dari orang yang menggadaikan.

DAFTAR PUSTAKA

http://agussaliim.blogspot.com/2010/10/wadiah.html tgl 24-03-14
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah jilid 12,alih bahasa oleh Kamaluddin A. Marzuki dkk.Bandung: Al Ma’arif, 1996.
Rusyd, Ibnu,  Terjemahan Bidayatul Mujtahid. Semarang : Asy-Syifa’, 1990.
Rasjid, H. Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012.