PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam
menjalani kehidupan suatu hal yang harus kita mantapkan adalah aqidah keyakinan
kepada Allah SWT. Rasanya aktifitas sehari-hari tak ada gunanya jika tidak didasari
dengan keimanan yang kuat. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas
tentang Ilmu Kalam ( Ilmu Tauhid ) yakni ilmu yang membahas
tentang pemikiran dan kepercayaan tentang ketuhanan. Dalam kehidupan
sehari-hari kita banyak menjumpai perbedaan-perbedaan pemikiran dan aqidah yang
mengiringi, kita harus pandai dalam memilih
dan memilahnya dengan berlandaskan Al-qur’an dan Al-hadist. Perlu kita
mengingat apa yang pernah dikatakan oleh Rasulullah bahwa “ Umatku akan
berpecah menjadi 73 golongan dan hanya satu yang benar.”
Perbedaan
pemikiran tersebut membuat mereka saling menyalahkan, antara lain yang
kita ketahui adalah: Ahlussunnah Wal Jama’ah, Mu’tazilah, Qodariyah, Syi’ah,
khowarij dan lain sebagainya. Yang semuanya memiliki pendapat masing-masing
tentang Tauhid atau keyakinan tentang hal ketuhanan. Dan kita sebagai orang
yang memegang agama Allah harus mengetahui manakah pemikiran yang benar dan
yang salah, dalam memandangnya kita harus berpegang teguh pada Al-qur’an dan
Al-hadist.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa
hakekat Ilmu Kalam itu?
2. Apa hakekat Filsafat dan ilmu kalam itu?
3. Bagaimana hunbungan Ilmu Kalam dan filsafat?
2. Apa hakekat Filsafat dan ilmu kalam itu?
3. Bagaimana hunbungan Ilmu Kalam dan filsafat?
1.3 Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui dan memahami hakekat ilmu kalam.
2. Mengetahui dan memehami hakekat Filsafat.
3. Mengetahui dan memahami hubungan Ilmu Kalam dan Filsafat.
2. Mengetahui dan memehami hakekat Filsafat.
3. Mengetahui dan memahami hubungan Ilmu Kalam dan Filsafat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hakikat
Ilmu Kalam
2.1.1 Pengertian Ilmu Kalam
Nama lain dari ilmu Kalam adalah ilmu Aqaid ( ilmu
akidah-akidah ), ilmu Tauhid ( ilmu tentang Kemaha Esa-an Tuhan ), ilmu
Ushuluddin ( ilmu pokok-pokok agama ). Disebut juga dengan 'Teologi Islam'. Teologi dari segi
etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu theologia. Yang terdiri dari kata theos
yang berarti tuhan atau dewa, dan logos yang artinya ilmu. Sehingga Teologi
adalah pengetahuan ( ilmu ) tentang ketuhanan. Menurut William L. Resse, Teologi berasal dari
bahasa Inggris yaitu Theology yang artinya discourse or reason
concerning god ( diskursus atau pemikiran tentang Tuhan ) dengan kata-kata
ini Reese lebih jauh mengatakan, “ Teologi merupakan disiplin ilmu yang
berbicara tentang kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu
pengetahuan ”. Gove mengatkan bahwa teologi merupakan penjelasan tentang
keimanan, perbuatan, dan pengalaman agama secara rasional. Sedangkan menurut Fergilius Ferm “the discipline which consern
God ( or yhe divine Reality ) and God relation to the word ( pemikiran
sistematis yang berhubungan dengan alam semesta ). Dalam ensiklopedia
everyman’s disebutkan tentang Teologi sebagai science of religion, dealing
therefore with god, and man his relation to god ( pengetahuan tentang
agama, yang karenanya membicarakan tentang tuhan dan manusia dalam pertaliannya
dengan tuhan ). Disebutkan dalam New English Dictionary, susunan
Collins, the science treats of the facts and phenomena of religion
and the relation between God and men ( ilmu yang membahas fakta-fakta dan
gejala-gejala agama dan hubungan-hubungan antara tuhan dan manusia).
Sedangkan pengertian ilmu Kalam ( Teologi islam )
secara terminologi terdapat berbagai perbedaan. Menurut Abdur Razak, ilmu Kalam
adalah ilmu yang membahas aspek ketuhanan dan segala sesuatu yang berkait
dengan-NYA secara rasional. Sedangkan menurut Muhammad Abduh ilmu Kalam adalah
ilmu yang membahas tentang wujud Allah, tentang sifat yang wajib tetap pada-Nya,
sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya, sifat-sifat yang sama sekali
wajib dilenyapkan dari pada-Nya, juga membahas tentang Rasul-rasul Allah,
meyakinkan keyakinan mereka, meyakinkan apa yang ada pada diri mereka, apa yang
boleh dihubungkan kepada diri mereka dan apa yang terlarang menghubungkanya
kepada diri mereka.
2.1.2 Sumber Ilmu Kalam
Sumber
ilmu kalam ialah Al-qur’an dan Hadist Nabi yang menerangkan tentang wujudnya
Allah, sifat-sifat-Nya, dan persoalan awidah islam lainnya. Ulama’ – ulama’
Islam dengan tekun dan teliti memahami nash-nash yang bertalian dengan masalah
aqidah ini, menguraikan dan menganalisisnya, dan masing – masing golongan
memperkuat pendapatnya dengan nash – nash tersebut. Dalil-dalil fikiran
dipersubur dengan filsafat Yunani dan unsur-unsur lain. Oleh karena itu
pembahasan ilmu kalam ini, selalu berdasarkan kepada dua hal, yaitu dalil naqli
( Al-qur’an dan Hadist ) dan dalil – dalil aqli ( akal fikiran ).
2.1.3 Sejarah Kemunculan
Persoalan-persoalan Kalam
Menurut Harun Nasution, kemunculan persoalan kalam dipicu
oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan ‘ Utsman bin Affan
yang berbuntut pada persoalan Mu’awiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.
Ketegangan antara Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib mengkristal menjadi perang Siffin
yang berakhir dengan keputusan tahkim ( arbitrase ).
Di luar pasukan yang membelot Ali, ada pula sebagian
besar yang tetap mendukung Ali. Mereka adalah kelompok Syi’ah. Menurut Watt,
kelompok Syi’ah ini muncul ketika berlangsung perang Siffin. Sebagai respon
atas penerimaan Ali terhadap arbitrase yang ditawarkan Mu’awiyah,
pasukan Ali terpecah menjadi dua, satu kelompok yang mendukung sikap Ali
disebut Syi’ah dan kelompok yang menolak sikap Ali disebut Khawarij.
Persoalan kalam pertama kali muncul adalah persoalan
siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam arti siapa yang telah keluar
dari islam dan siapa yang masih tetap islam.
Persoalan ini telah menimbulkan tiga aliran Teologi dalam
islam, yaitu :
1.
Aliran
Khawarij, menegaskan bahwa orang yang berdosa besar
adalah kafir, dan wajib dibunuh.
2.
Aliran
Murji’ah, menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa
besar masih tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun dosa yang dilakukannya, hal
itu terserah Allah untuk mengampuni atau menghukumnya.
3.
Aliran
Mu’tazilah, yang tidak menerima kedua pendapat di
atas. Bagi mereka, orang yang berbuat dosa besar bukan kafir, tetapi bukan pula
mukmin. Mereka mengambil posisi antara mukmin dan kafir , yang dalam bahasa
Arabnya terkenal dengan istilah al-manzilah bainal manzilatain ( posisi
diantara dua posisi ).
2.1.4 Firqoh-firqoh Dalam
ilmu kalam
A. Khawarij
1. Sejarah Munculnya
Aliran Khawarij
Secara Etimologis kata Khawarij berasal dari bahasa
Arab, yaitu kharaja yang artinya keluar, muncul, timbul, atau
memberontak. Adapun yang dimaksud khawarij dalam terminologi ilmu kalam adalah
suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar
meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang
menerima arbitrase ( tahkim ), dalam perang Shiffin pada tahun 37
H/648 M, dengan kelompok Bughot ( pemberontak ) Mu’awiyah bin Abi Sufyan
perihal persengketaan khilafah.
Dalam sejarah
islam disebutkan, usaha perdamaian itu dikenal dengan
“ Majlis Tahkim “ dalam
persengketaan yang terjadi antara Ali dan Muawiyah pada perang Shiffin,
suatu tempat di tepi sungai Efrat, yang menyebabkan tampilnya Muawiyah sebagai
khalifah. Hasil perdamaian tersebut memunculkan kesepakatan bahwa Ali dipecat
dari kursi kekhalifahan dan Muawiyah ditunjuk sebagai penggantinya. Setelah Muawiyah diangkat menjadi khalifah, maka
muncul golongan - golongan politik dilingkungan ummat islam, yakni Syi’ah,
Khawarij, dan Murji’ah. Bermula dari persoalan politik, akhirnya berubah
menjadi persoalan teologis, masing-masing saling menuduh dan mengeluarkan hukum
dengan tuduhan-tuduhan kafir, dosa besar, dan lain-lain, sampai memunculkan
persoalan sumber perbuatan manusia, apakah dari Tuhan atau dari diri manusia
sendiri.
2. Ajaran (Doktrin) Pokok Aliran Khawarij
a. Khalifah atau imam
dipilih secara bebas oleh seluruh umat islam.
b. Khalifah tidak harus
berasal dari keturunan Arab.
c. Khalifah dipilih
secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’t
islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh jika melakukan kezaliman.
d. Khalifah sebelum Ali
( Utsman r.a. ) dinggap menyeleweng.
e. Ali adalah khalifah
yang sah, tetapi setelah terjadi arbitrase, ia dianggap menyeleweng.
f. Muawiyah dan Amr bin
Ash serta Musa Al-Asy’ari adalah kafir.
g. Pasukan perang Jamal
yang melawan Ali juga kafir.
h. Orang muslim yang
melakukan dosa besar bukan lagi muslim sehingga harus dibunuh.
i.
Qur’an adalah makhluk.
j.
Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari
Tuhan.
3. Sekte Dalam
Khawarij
Munculnya banyak cabang dan sekte Khawarij ini
diakibatkan banyaknya perbedaan dalam bidang akidah yang mereka anut dan
banyaknya nama yang mereka pergunakan sejalan dengan perbedaan akidah mereka
yang beraneka ragam itu. Asy-syak’ah menyebutkan adanya delapan firqah besar,
dan firqah-firqah ini terbagi lagi menjadi firqah-firqah kecil yang jumlahnya
sangat banyak. Perpecahan ini menyebabkan gerakan kaum Khawarij lemah, sehingga
mereka tidak mampu menghadapi kekuatan militer Bani Umayyah yang berlangsung bertahun-tahun.
Sekte-sekte Khawarij tersebut antara lain, al-Azariqah, al-Ibadiah, al-Muhakkamah,
al-Najdat, al-Jaridah, al-Sufriyah, al-Baihasiyah, dan Yazidiyah.
Menurut Prof. Taib Thahir Abdul Mu’in, bahwa sebenarnya
ada dua golongan utama yang terdapat dalam aliran Khawarij, yakni :
a. Sekte Al-Azariqoh
Nama ini diambil dari Nafi Ibnu Al-Azraq, pemimpin
utamanya, yang memiliki pengikut sebanyak dua puluh ribu orang. Di kalangan
para pengikutnya, Nafi digelari “amir al-mukminin”. Golongan al-azariqoh dipandang
sebagai sekte yang besar dan kuat di lingkungan kaum Khawarij.
Dalam pandangan teologisnya, Al-Azariqoh tidak
menggunakan term kafir, tetapi menggunakan term musyrik atau politeis. Yang dipandang musyrik adalah semua orang yang
tidak sepaham dengan ajaran mereka. Bahkan, orang Islam yang tidak ikut hijrah
kedalam lingkungannya, dihukumkan musyrik. Karena kemusyrikannya itu, kaum ini membolehkan
membunuh anak-anak dan istri yang bukan golongan Al-Azariqoh. Golongan ini pun
membagi daerah kekuasaan, yakni “dar al-Islam” dan “dar al-kufur”. Dar al-Islam
adalah daerah yang dikuasai oleh mereka, dan dipandang sebagai penganut Islam
sebenarnya. Sedangkan Dar al-Kufur merupakan suatu wilayah atau negara yang
telah keluar dari Islam, karena tidak sefaham dengan mereka dan wajib
diperangi.
b. Sekte Al-Ibadiah
Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat dari
seluruh sekte Khawarij. Nama golongan ini diambnil dari Abdullah Ibnu Ibad,
yang pada tahun 686 M. memisahkan diri dari golongan Al-Azariqoh.
Adapun faham-fahamnya yang dianggap moderat itu, antara lain :
Adapun faham-fahamnya yang dianggap moderat itu, antara lain :
a. Orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah
mukmin dan bukan pula musyrik, tetapi kafir. Orang Islam demikian, boleh
mengadakan hubungan perkawinan dan hukum waris. Syahadat mereka diterima, dan
membunuh mereka yang tidak sefaham dihukumkan haram.
b. Muslim yang melakukan dosa besar masih dihukumkan
‘muwahid’, meng-esa-kan Tuhan, tetapi bukan mukmin. Dan yang dikatakan kafir,
bukanlah kafir agama, tetapi kafir akan nikmat. Oleh karenanya, orang Islam
yang melakukan dosa besar tidak berartyi sudah keluar dari Islam.
c. Harta kekayaan hasil rampasan perang yang boleh
diambil hanyalah kuda dan senjata. Sedangkan harta kekayaan lainnya, seperti
emas dan perak, harus dikembalikan kepada pemiliknya.Daerah orang Islam yang
tidak sefaham dengan mereka, masih merupakan “dar at-tauhid”, dan tidak boleh
diperangi.
B. Murjiah
1. Latar
Belakang
Murjiah diambil dari kata irja
yang mempunyai dua makna. Pertama, bermakna ”mengakhirkan” atau ”menangguhkan”.
Kedua, bermakna ” memberikan harapan.
Aliran Murjiah muncul sebagai
reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya “kafir mengkafirkan”
terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal ini dilakukan oleh
aliran Khawarij.
Aliran ini menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu dihadapan Tuhan, karena hanya Tuhanlah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar, masih dianggap mukmin dihadapan mereka.
Aliran ini menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu dihadapan Tuhan, karena hanya Tuhanlah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar, masih dianggap mukmin dihadapan mereka.
2. Ajaran Pokok
Aliran Murjiah
Berkaitan dengnan doktrin teologi Murjiah,
Harun Nasution menyebutkan empat ajaran pokoknya, yaitu:
a. Menunda hukuman atas
Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, Abu Musa Al-Asy’ari yang terlibat tahkim dan
menyerahkannya kepada Alloh di hari kiamat kelak.
b. Menyerahkan keputusan
kepada Alloh atas orang muslim yang berdosa besar.
c. Meletakkan ( pentingnya
) iman dari pada amal.
d. Memberikan
pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk merperoleh ampunan dan
rahmat dari Alloh.
3. Pecahan
Murjiah
a. Golongan
Yunusiyah
Mereka adalah pengikut Yunus
An-Namiry. Menurut Yunus Iman adalah Ma’rifat (pengenalan) kepada Alloh dengan
menaatinya, merendahkan diri dan meninggalkan kesombongan kepada-Nya, serta
mencintai-Nya dengan sepenuh haati. Barang siapa yang dalam diri seseorang
terkumpul sifat-sifat ini, maka dia dikatakan beriman atau mukmin.
b. Golongan
Ibadiyah
Mereka adalah pengikut ’Ubaid
Al-Muktaib. Pendapat mereka sama dengan golongan Yunusiyah.
c. Golongan
Ghasaniyah
Mereka adalah pengikut
Ghasan Al-kufi. Menurut Ghasan, Iman adalah pengakuan, mengenal, dan kecintaan
kepada Allah dan Rasul-Nya, mengagungkan-Nya, dan tidak bersikap takabur
kepada-Nya. Ia berpendapat, iman itu dapat bertambah, tapi tidak dapat
berkurang.
d. Golongan
Tsaubaniyah
Mereka ini pengikut
Tsauban Al Murji’iy yang menganggap bahwa iman itu pengakuan dan ma’rifat
kepada Allah dan Rasul-Nya, serta segala kewajiban yang harus dikerjakan
menurut akal. Adapun sesuatu yang boleh tidak dilakukan akal, maka
mengetahuinya bukan termasuk iman.
e. Golongan
Tumaniyah
Mereka adalah pengikut
Abu Mu’adz at-Tumaniy yang berpendapat bahwa iman ialah mengenal, membenarkan,
cinta, ikhlas, dan pengakuan, sedangkan meninggalkan sebagian atau seluruhnya
adalah kafir.
C. Syi’ah
1. Latar Belakang
Syi’ah dilihat dari segi bahasa berarti
pengikut atau pendukung. Sedangkan secara terminologi adalah sebagian kaum
muslimin yang dalam bidang spiritual dan keagamaannya selalu merujuk pada
keturunan Nabi Muhammad SAW atau orang yang disebut sebagai ahl al-bait.
Menurut Thabathbai, istilah Syii’ah
pertama kali ditujukan pada para pengikut Ali (Syi’ah Ali). Para pengikut Ali
yang disebut Syi’ah itu diantaranya adalah Abu dzar Al-Ghiffan, Miqad bin
Al-Aswad, dan Ammar bin Yasir.
2. I’tiqad Aliran Syi’ah
Aliran ini mempunyai beberapa i’tiqad, antara
lain adalah:
a. Kholifah pertama, kedua, dan ketiga adalah kholifah yang tidak sah,
bahkan dianggap perampas yang berdosa mengambil pangkat kholifah tanpa hak dari
Ali.
b. Kholifah (imam) adalah pangkat tertinggi dalam islam, bahkan salah satu rukun
dan tiang islam.
c. Kholifah (imam) adalah ma’shum artinya tidak pernah berbuat dosa,
tidak boleh diganggu gugat dan dikritik karena ia adalah pengganti Nabi dan
mempunyai kedudukan sama dengan Nabi.
d. Kholifah (imam) masih mendapat wahyu dari Tuhan walaupun tidak melalui
perantara malaikat Jibril. Imam-imam kaum Syi’ah mewarisi pangkat nabi atau
jabatan Nabi, walaupun ia bukan Nabi.
3. Golongan-golongan Dalam Syi’ah
Munculnya banyaknya golongan ini diakibatkan
banyaknya perbedaan dalam bidang akidah yang mereka anut dan banyaknya nama
yang mereka pergunakan sejalan dengan perbedaan akidah mereka yang beraneka
ragam itu. Syi’ah terbagi menjadi 22 golongan yaitu: Syabaiyah, Al-Kamiliyah,
Al-Bayaniyah, Al-Mughiriyah, Janahiyah, Manshuriyah, Khottobiyah, Ghurabiyah,
Zdhimmiyah, Hisyamiyah, Zirariyah, Yunusiyah, Syaithoniyah, Rizamiyah,
Al-Mufawadah, Al-Badaiyah, Nusyairiyah, Ismailiyah, Jarudiyah, Sulaimaniyah,
Batiriyah, dan Imamiyah.
Golongan Syabaiyah, mereka adalah
pengikut Abdulloh bin Saba’ yang berpendapat bahwa dalam diri Ali terdapat
unsur ketuhanan yang telah bersatu-padu dengan tubuhnya dan tidak mungkin
musnah sehingga beliau mengetahui segala sesuatu yang ghaib. Suara petir adalah
rupanya. Kilat adalah senyumannya.
Golongan Al-Kamiliyah, mereka adalah
pengikut Abu Kamil yang mengajarkan bahwa para sahabat nabi adalah kufur begitu
juga dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
D. Jabariyah
1. Latar Belakang
Secara bahasa jabariyah berasal dari kata ”jabara” yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus Al-Munjid dijelaskan
bahwa nama jabariyah berasal dari kata ”jabara” yang mengandung arti
memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Sedangkan secara istilah,
jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua
perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam
keadaan terpaksa (majbur). Menurut Harun Nasution jabariyah adalah faham
yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan oleh qadha dan
qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia
tidak berdasarkan kehendak manusia, namun diciptakan oleh Tuhan dan dengan
kehendak-Nya. Di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat karena
tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahkan bahwa jabariyah adalah aliran
manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya. Faham ini pertama kali
diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan
dari Khurasan.
2. Tokoh dan Ajaran dalam Aliran Jabariyah
Seperti yang telah disinggung sebelumnya,
bahwa yang pertama kali memperkenalkan faham jabariyah adalah Ja’d bin Dirham
dan Jahm bin Shafwan.
1. Al-Ja’d bin Dirham
Ja’d adalah seorang Maulana Bani Hakim,
tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di dalam lingkungan orang Kristen yang
senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar di lingkungan
Bani Umayah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang kontroversial, Bani
Umayah menolaknya. Kemudia Al-Ja’d lari ke Kufah dan disana ia bertemu dengan
Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan.
Ajaran pokok Ja’d bin Dirham secara umum sama
dengan pikiran Jahm. Al-Ghuraby menjelaskannya sebagai berikut:
a. Al-Qur’an itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia
baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan Allah.
b. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk
seperti berbicara, melihat, mendengar
c. Manusia terpaksa oleh Allah dalam
segala-galanya
2. Jahm Ibnu
Shafwan
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham bin
Shafwan. Ia termasuk Maulana Bani Rasib, juga seorang tabi’in berasal dari
Khurasan, dan bertempat tinggal di Khuffah, ia seorang da’i yang fasih dan
lincah (orator). Ia menjabat sebagai sekretaris Harits bin Surais seorang
mawali yang menentang pemerintahan Bani Umayah di Khurasan. Ia ditawan dalam
pemberontakan dan dibunuh pada tahun 128H. Ia dibunuh karena masalah politik
dan tidak ada kaiatannya dengan agama. Sebagai penganut dan penyebar faham
jabariyah, banyak usaha yang dilakukan Jahm yang tersebar keberbagai tempat,
seperti ke Tirmidz dan Balk. Pendapatnya mengenai persoalan teologi adalah
sebagai berikut:
a. Manusia tidak
mampu untuk berbuat apa-apa, ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak
sendiri dan tidak mempunyai pilihan.
b. Surga dan
neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
c. Iman adalah
ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya dengan konsep
Iman yang dimajukan kaum Murji’ah.
d. Kalam Tuhan
adalah makhluk Allah mahasuci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia
seperti berbicara, mendengar dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak dapat dilihat
dengan indera mata di akhirat kelak.
Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua
bagian, yaitu ekstrim dan moderat. Di antara ajaran jabariyah ekstrim adalah
pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang
timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatannya yang dipaksakan atas dirinya.
Berbeda dengan jabariyah ekstrim, jabariyah
moderat mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik
perbuatan jahat maupun perbuatan baik. Tetapi manusia mempunyai bagian di
dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk
mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab . Menurut faham kasab,
manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang
dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi
manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan .
Yang termasuk tokoh jabariyah moderat adalah
sebagai berikut:
1) An-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar. Di
antara pendapat-pendapatnya:
1. Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi
manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab.
2. Tuhan tidak
dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi an-Najjar mengatakan bahwa Tuhan dapat
saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata, sehingga manusia dapat
melihat Tuhan.
2) Adh-Dhirar
Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di
akhirat melalui indera ke enam. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat
diterima setelah Nabi adalah Ijtihad. Hadits ahad tidak dapat dijadikan sumber
dalam menetapkan hukum
E. QADARIYAH
1. Latar Belakang dan Sejarah Perkembangan Aliran Qadariyah
1. Latar Belakang dan Sejarah Perkembangan Aliran Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari
kata Ù‚َدَرَ yang artinya kemampuan dan kekuatan. Secara
terminologi, qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan
manusia tidak diintervensi oleh Tuhan . Aliran
ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya,
ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.
Berdasarkan pengertian diatas, dapat dipahami bahwa qadariyah dipakai untuk
nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia
dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Harun Nasution menegaskan bahwa kaum
qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan
untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia
terpaksa tunduk pada qadar Tuhan .
Tentang kapan munculnya faham Qadariyah dalam Islam, tidak dapat
diketahui secara pasti. Namun, ada beberapa ahli teologi Islam yang
menghubungkan faham qadariyah ini dengan kaum Khawarij. Pemahaman mereka (kaum
khawarij) tentang konsep iman, pengakuan hati dan amal dapat menimbulkan
kesadaran bahwa manusia mampu sepenuhnya memilih dan menentukan tindakannya
sendiri. Menurut Ahmad Amin seperti dikutip Abuddin Nata, berpendapat bahwa
faham qadariyah pertama sekali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan
Ad-Dimasyqy . Sementara itu Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, memberi
informasi lain bahwa yang pertama sekali memunculkan faham qadariyah adalah
orang Irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk Islam dan balik lagi ke
agama Kristen. Dari orang inilah Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini . Orang
Irak yang dimaksud, sebagaimana dikatan Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh
informasi dari Al-Auzai, adalah Susan.
Faham ini mendapat tantangan keras dari umat
Islam ketika itu. Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya reaksi keras
ini, pertama, seperti pendapat Harun Nasution, karena masyarakat Arab sebelum
Islam kelihatannya dipengaruhi oleh faham fatalis. Kehidupan bangsa Arab ketika
itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan, mereka merasa diri mereka lemah
dan tidak mampu menghadapi kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh alam
sekelilingnya. Sehingga ketika faham qadariyah dikembangkan, mereka tidak dapat
menerimanya karena dianggap bertentangan dengan Islam. Kedua, tantangan dari
pemerintah, karena para pejabat pemerintahan menganut faham jabariyah.
Pemerintah menganggap faham qadariyah sebagai suatu usaha menyebarkan faham
dinamis dan daya kritis rakyat, yang pada gilirannya mampu mengkritik
kebijakan-kebijakan mereka yang dianggap tidak sesuai dan bahkan dapat
menggulingkan mereka dari tahta kerajaan.
2. Tokoh dan Ajaran dalam Aliran Qadariyah
Bahwa tokoh yang pertama kali memunculkan
faham qadariyah dalam Islam adalah Ma’bad Al-Jauhani dan temannya Ghailan
Al-Dimasyqy.
1. Ma’bad Al-Jauhani
Menurut Al-Zahabi dalam kitabnya Mizan
al-I’tidal, yang dikutip Ahmad Amin dalam Sirajuddin Zar, menerangkan bahwa ia
adalah tabi’in yang dapat dipercaya, tetapi ia memberikan contoh yang tidak
baik dan mengatakan tentang qadar. Lalu ia dibunuh oleh al-Hajjaj karena ia memberontak
bersama Ibnu al-Asy’as. Tampaknya disini ia dibunuh karena soal politik,
meskipun kebanyakan mengatakan bahwa terbunuhnya karena soal zindik. Ma’bad
Al-Jauhani pernah belajar kepada Hasan Al-Bashri, dan banyak penduduk Basrah
yang mengikuti alirannya .
2. Ghailan Ibnu Muslim Al-Damasyqy
Sepeninggal Ma’bad, Ghailan Ibnu Muslim
al-dimasyqy yang dikenal juga dengan Abu Marwan. Menurut Khairuddin al-Zarkali
dalam Sirajuddin Zar menjelaskan bahwa Ghailan adalah seorang penulis yang pada
masa mudanya pernah menjadi pengikut Al-Haris Ibnu Sa’id yang dikenal sebagai
pendusta. Ia pernah taubat terhadap pengertian faham qadariyahnya dihadapan
Umar Ibnu Abdul Aziz, namun setelah Umar wafat ia kembali lagi dengan mazhabnya
. Ia akhirnya mati dihukum bunuh oleh Hisyam ‘Abd al-Malik (724-743). Sebelum dijatuhi
hukuman bunuh diadakan perdebatan antara Ghailan dan al-Awza’i yang dihadiri
oleh Hisyam sendiri .
F. Mu’tazilah
1. Latar Belakang
Mu’tazilah
berasal dari kata i’tazala yang artinya berpisahatau memisahkan diri. Juga
dapat pula diartikan ”menjauh” atau ”menjauhkan diri”. Mengikuti makna inki
maka Mu’tazilah merupakan golongan islam yang menjauhkan atau memisahkan diri
dari mayoritas umat islam. Mu’tazilah dalam pengertian pertama, mengambil dari
peristiwa Washil bin ’Atha’ yang wafat pada tahun 131 H. Pendiri aliran ini
yang memisahkan diri dari gurunya seorang tokoh tabi’in Hasan Al-Bashri.
Menurut
Al-Baghdadi, yang diperselisihkan washil dan gurunya tidak hanya persoalan dosa
besar, tapi juga persoalan qadar. Sementara itu, sejarawan Tasy Kubra Zadah,
seperti dikutip Harun Nasution, mengemukakan versi lain tentang peristiwa yang
terjdi di masjid Bashrah ini. Tasy menceritakan, Qatadah bin Da’mah pada suatu
hari datang ke masjid bashrah menuju majlis ’Amr bin ’Ubaid yang disangkanya
majlis Hasan al-Bashri. Tapi, setelah di mengerti bahwa majlis itu bukanlah
majlis Hasan al-Bashri, dia langsung pergi meninggalkannya sambil berkata ”ini
kaum Mu’tazilah”. Berawal dari sinilah, golongan yang memisahkan diri dinamakan
Mu’tazilah. Jadi, penyebutan Mu’tazilah itu bukan berasal dari Hasan al-Bashri.
Versi
kedua tentang awal mula kemunculan golongan Mu’tazilah disampaikan oleh Abdul
Hasan Tharaifi. Ia menjelaskan kemunculan Mu’tazilah bukan berasal dari Washil
bin ’Atha’ yang berselisih dengan Hasan al-Bashri, melainkan dari orang-orang
Syi’ah yang kecewa dengan sikap Hasan bin Ali bin Abi Thalib yang menyerahkan
jabatan khalifah kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Karena itu, mereka menjauhkan
diri dari urusan politik dan hanya menyibukkan diri di bidang ilmu pengetahuan.
Jadi, Mu’tazilah ini pada awal mulanya adalah kaum Syi’ah.
2. Lima Ajaran Pokok (Ushul al-khamsah)
Mu’tazilah
a. Tauhid
At-Tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip
utama dan intisari ajaran Mu’tazilah. Mu’tazilah menolak konsep Tuhan mempunyai
sifat. Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu esa, tidak ada satupun yang
menyerupai-Nya. Dia Maha Melihat, Mendengar, Kuasa, Mengetahui, dan sebagainya.
Namun, semua itu bukanlah sifat melainkan dzat-Nya. Menurut mereka sifat adalah
sesuatu yang melekat. Bila sifat Tuhan yang qadim, berarti ada dua yang qadim,
yaitu dzat dan sifat-Nya, Washil bin ’Atha’, seperti yang dikutip oleh
Asy-Syahrastany mengatakan, ”siapa yang mengatakan sifat yang qadim berarti
telah menduakan tuhan.” Ini tidak dapat merupakan perbuatan syirik.
b. Al-Adl
Mereka mengartikan ’Adl sebagai Tuhan tidak
pernah berbuat buruk atau jahat kepada hamba-Nya. Segala sesuatu yang baik dan
melarang hamba-Nya berbuat kejahatan. Jika tampak pada manusia sesuatu yang
buruk atau jahat, maka hal itu disebabkan keditakmampuan manusia itu sendiri
mengetahui hikmah-hikmah ketuhanan. Dari konsep ’adl, kemudian muncul teori as-shalah
wa al-ashlah atau Allah wajib berbuat baik kepada hamba-hamba-Nya.
Maksudnya, Tuhan wajib memasukkan hamba yang berbuat baik ke dalam surga dan
hamba yang berbuat jahat ke dalam neraka. Inilah arti keadilan Tuhan. Jika
Tuhan memasukkan hamba yang berbuat baik ke dalam neraka, berarti Tuhan adalah
penjahat dan dzalim. Ini tentu saja sangat mustahil bagi Tuhan.
c. Janji dan Ancaman
Tuhan berjanji akan memberi pahala dan
mengancam akan menjatuhkan siksaan. Barang siapa yang berbuat baik maka dibalas
dengan kebaikan dan sebaliknya. Tidak ada ampunan terhadap dosa besar tanpa
taubat.
d. Tempat diantara Dua Tempat
Pokok ajaran ini adalah bahwa mukmin yang melakukan
dosa besar dan belum bertaubat bukan lagi mukmin atau kafir melainkan fasiq.
e. Amar Ma’ruf Nahi munkar
Ajaran amar ma’ruf dan nahi munkar sebenarnya
juga dimiliki oleh ajaran-ajaran lain. Perbedaan paling prinsip adalah terletak
pada metode atau tatanan pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah, ajaran ini boleh
dilakukan dengan kekerasan jika diperlukan. Sejarah telah mencatat bahwa kaum
Mu’tazilah pernah menyiksa atau bahkan membunuh ribuan ulam’ besar dalam
”peristiwa Al Qur’an Makhluk”. Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali,
pernah disiksa dalam penjara selama 15 tahun akibat peristiwa itu.
3. Pecahan-pecahan Mu’tazilah
Abdurrahman bin Muhammad bin Umar dalam Bughyatul
Mustarsyidin mengatakan bahwa kaum Mu’tazilah terbagi menjadi 20 aliran.
Menurut Abdul Qahir al-Baghdadi Mu’tazilah terpecah menjadi 22 aliran. Dua
diantaranya termasuk kaum Mu’tazilah yang ekstrim, yaitu aliran Al Khabathiyah
dan Al Himariyah. Sedang 20 yang lain termasuk kaum Mu’tazilah moderat.
Diantara aliran-aliran Mu’tazilah yang terbesar adalah: Al-Washiliyah,
Al-Hudzailiyyah, An-Nazhzhamiyyah, Al-Mu’ammariyah, Al-Mirdariyah,
Al-Hisyamiyah, Al-Jahizhiyah, Al-Khayyathiyah, Al-Ka’biyyah, Al-Juba’iyah, dan
Al-Bahsyaniyyah.
G. Ahlussunnah Wal Jama’ah
1. Latar Belakang
Yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah menurut Maulana Abu Said Al Kadimy dalam kitab Bariqah
Mahmudiyah adalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah artinya orang-orang yang
memakai sunnah Rasulullah, sedangkan al Jama’ah artinya jama’ah
Rasulullah dan mereka adalah para sahabat dan tabi’in. Adapun penyiar faham Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah ialah dua ulama’ yang terkenal, yaitu:
1. Abu Hasan Al Asy’ari, lahir di Bashrah
pada tahun 873 M/260 H dan wafat pada tahun 934 M/324 H. Pengikut-pengikutnya
disebut Asy’ariyah.
2. Abu Manshur Al Maturidy, lahir di Maturidy
Samarkand pada tahun 882 M/333 H dan wafat pada tahun 944 M/334 H.
Pengikut-pengikutnya disebut Maturidiyah.
2. Aliran
Dalam Ahlussunnah Wal Jama’ah
A.
Asy’ariyah
Pemikiran-pemikkiran
Al Asy’ari yang terpenting adalah berikut ini:
a. Tuhan dan sifat-sifat-Nya
Al
Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat
dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah
berbeda dengan Allah sendiri, tetapi sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah)
tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya.
b. Kebebasan dalam berkehendak
Al Asy’ari membedakan antara kholiq dan
kasb. Menurutnya Allah adalah pencipta (kholiq) perbuatan manusia,
sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib). Hanya Allah
lah yang mampu menciptakan segala sesuatu.
c. Akal, wahyu, dan kriteria baik dan buruk
Al Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk
harus berdasarkan pada wahyu.
d. Qadimnya Al Qur’an
Al Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al
qur’an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada
esensi Allah dan karenanya tidak qadim.
e. Melihat Allah
Al
Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat
digambarkan.
f. Kedudukan orang Kafir
Al
Asy’ari berpendapat bahwa mukminyang melakukan dosa bear adalah mukmin yang
fasiq, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.
B. Al Maturidi
Pemikiran-pemikkiran
Al Maturidi yang terpenting adalah berikut ini:
a. Akal dan wahyu
Al Maturidi membagi kaitan
sesuatu denagn akal pada tiga macam, yaitu:
1. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.
2. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu.
3. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu,
kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.
b. Perbuatan Manusia
Menurut Al Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan
Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya.
c. Melihat Allah
Al Maturidi berpendapat bahwa Allah kelak di akhirat dapat
dilihat dengan mata,karena Allah mempunyai wujud walaupun Ia immaterial. Namun
melihat Allah kelak di akhirat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena
keadaan di akhirat tidak sama dengan di dunia.
d. Pelaku Dosa Besar (Murtakib Al Kabir)
Al Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar
tidak kafir dan tidak kekal di neraka walaupun ia mati sebelum bertaubat.
Dengan demikian, berbuat dosa besar selain syirik tidak akan menyababkan
pelakunya kekal di dalam neraka.
2.2 Hakikat Ilmu Filsafat
2.2.1
Pengertian Filsafat
Menurut analisa Al-Farabi filasafat
berasal dari bahasa Yunani yaitu philosiphia. Philo berarti cinta
dan shopia berarti hikmah atau kebenaran. Menurut Plato, filsuf
Yunani yang termashur, murid Scorates dan guru Aristoteles mengatakan bahwa
filsafat adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang ada.
Marcus Tullius Cicero politikus dan ahli pidato romawi merumuskan filsafat adalah pengatahuan tentang segala sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha untuk mencapainya. Al Farabi filosuf muslim terbesar sebelum Ibn Sina mengatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki hakikatnya yang sebenarnya. Filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup metafisika, etika, agama, dan antropologi. Immanuel Kant yang sering disebut raksasa pikir barat, mengatakan bahwa Filsafat itu merupakan ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup metafisika, etika, agama, dan antripologi. Obyek Filsafat dalam filsafat terdapat dua obyek yaitu obyek materia dan obyek formanya. Obyek materianya adalah sarwa yang ada pada garis besarnya dibagi atas tiga persoalan, yaitu: Tuhan, alam, dan manusia. Sedangkan Obyek formannya adalah usaha mencari keterangan secara radikal ( sedalam-dalamnya) tentang obyek materi filsafat ( sarwa yang ada).
Marcus Tullius Cicero politikus dan ahli pidato romawi merumuskan filsafat adalah pengatahuan tentang segala sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha untuk mencapainya. Al Farabi filosuf muslim terbesar sebelum Ibn Sina mengatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki hakikatnya yang sebenarnya. Filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup metafisika, etika, agama, dan antropologi. Immanuel Kant yang sering disebut raksasa pikir barat, mengatakan bahwa Filsafat itu merupakan ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup metafisika, etika, agama, dan antripologi. Obyek Filsafat dalam filsafat terdapat dua obyek yaitu obyek materia dan obyek formanya. Obyek materianya adalah sarwa yang ada pada garis besarnya dibagi atas tiga persoalan, yaitu: Tuhan, alam, dan manusia. Sedangkan Obyek formannya adalah usaha mencari keterangan secara radikal ( sedalam-dalamnya) tentang obyek materi filsafat ( sarwa yang ada).
2.3 HUBUNGAN ILMU KALAM DAN FILSAFAT
2.3.1 Titik
persamaannya
Ilmu kalam, dan filsafat mempunyai
kemiripan objek kajian. Objek kajian ilmu kalam adalah ketuhanan dan segala
sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Ilmu kalam merupakan salah satu ilmu Islam
yang mengkaji akidah (doktrin). Objek kajian filsafat adalah masih dalam masalah
ketuhanan di samping masalah alam, manusia, dan segala sesuatu yang ada. Jadi
di lihat dari objeknya, kedua ilmu tersebut membahas masalah yang berkaitan
dengan ketuhanan.
2.3.2 Titik Perbedaan
Perbedaan di antara kedua ilmu
tersebut terletak pada aspek metodologinya. Ilmu kalam, sebagai ilmu yang menggunakan
logika di samping argumentasi- argumentasi naqliah berfungsi untuk
mempertahankan keyakinan ajaran agama, yang sangat tampak nilai-nilai apologinya.
Pada dasarnya ilmu ini menggunakan metode dialektika (jadaliah) dikenal juga
dengan istilah dialog keagamaan. Sebagian ilmuwan bahkan mengatakan bahwa ilmu
ini berisi keyakinan-keyakinan kebenaran, praktek dan pelaksanaan ajaran agama,serta
pengalaman keagamaan yang dijelaskan dengan pendekatan rasional.
Sementar
itu, filsafat adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran
rasional. Metode yang
digunakannya pun adalah metode rasional. Filsafat menghampiri kebenaran dengan
cara menuangkan akal budi secara radikal (mengakar) dan integral (menyeluruh)
serta universal, tidak merasa terikat oleh apapun, kecuali oleh ikatan
tangannya sendiri yang bernama logika. Peranan filsafat sebagaimana dikatakan
Socrates adalah berpegang teguh pada ilmu pengetahuan melalui usaha menjelaskan
konsep-konsep (the gaining of conceptual clarity). Murthadha Muthahari berkata
bahwa metode filsafat hanya bertumpu pada silogisme (qiyas), argumentasi
rasional (istidal aqli) dan demonstrasi rasional (burhan aqli). Berkenaan
dengan keragaman kebenaran yang dihasilkan oleh kerja logika maka dalam
filsafat dikenal apa yang disebut kebenaran korespondensi. Dalam pandangan
korespodensi, kebenaran adalah persesuaian antara kenyataan sebenarnya di alam
nyata. Disamping kebenaran korespodensi, didalam filsafat juga dikenal
kebenaran korehensi. Dalam pandangan korehensi, kebenaran adalah kesesuaian
antara suatu pertimbangan baru dan suatu pertimbangan yang telah diakui
kebenarannya secara umum dan permanen. Jadi, kebenaran dianggap tidak benar
kalau tidak sesuai dengan kebenaran yang dianggap benar oleh ulama umum. Disamping
dua kebenaran di atas, di dalam filsafat dikenal juga kebenaran pragmatis. Dalam
pandangan pragmatisme, kebenaran adalah sesuatu yang bermanfaat (utility) dan
mungkin dapat dikerjakan (workability) dengan dampak yang memuaskan. Jadi,
sesuatu akan dianggap tidak benar kalau tidak tampak manfaatnya secara nyata
dan sulit untuk dikerjakan.
BAB III
PENUTUP
2.4 Kesimpulan
Ilmu Kalam lahir setelah Nabi
Muhammad SAW wafat. Diawali dengan permasalahan pengangkatan khalifah yang
selanjutnya setelah Rasulullah, hingga membahas soal jabr (takdir) dan ikhtiyar
(free will). Akhirnya terpecahlah beberapa aliran yang membahas antara kedua
itu dengan dalilnya masing-masing. Diantaranya adalah aliran Jabariyah dan
Qodariyah. Dan akhirnya lahirlah ilmu kalam yang pokok pembahasannya adalah
mengenai akidah dan Iman. Lalu pada masa Harun ar-Rasyid (Dinasti Abbasyiah)
terjadi penerjemahan buku- buku dari Yunani. Selain buku-buku pengetahuan
Sains, juga terdapat buku- buku filsafat. Karena pemikiran filsafat Yunani
bertentangan dengan ajaran Islam, maka akhirnya para pemikir Islam mencoba membuktikan
bahwa antara agama dan filsafat itu tidak bertentangan. Dan akhirnya lahirlah
ilmu filsafat Islam yang objek kajiannya adalah segala wujud yang fisik maupun metafisik.
Bila berbicara tentang wujud metafisik tentu Tuhan juga termasuk objek kajian
filsafat Islam ini. Maka dari situlah permasalahan ilmu kalam dan filsafat bercampur
karena kedua ilmu ini sama-sama menggunakan daya penalaran (aqli) dan juga
bersumber dari Kalam Allah dan Sunnah (Al-Qur’an dan Hadits). Sehingga ilmu
kalam dan filsafat ini saling mempengaruhi satu sama lain dan tak terpisahkan.
Daftar
Pustaka
A. Nasir, Sahilun. 1994. Pengantar
Ilmu Kalam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Rozak, Abdul dan Rosihan Anwar. 2006. Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Rozak, Abdul dan Rosihan Anwar. 2006. Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Kaisar ’08 Lirboyo. 2008. Aliran – aliran Teologi Islam.
Kediri: Lirboyo press.
Hanafi,
Ahmad. 2003. Pengantar
Teologi Islam. Jakarta: Pustaka Alhusna Baru.
Abduh, Muhammad. 1979. Risalah tauhid, terj. Firdaus An, Jakarta: Bulan Bintang.
Nata, Abuddin. 1995. Ilmu Kalam, Filsafat
dan Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: aliran-aliran, sejarah, analisa dan perbandingan, Jakarta: UI Press.
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: aliran-aliran, sejarah, analisa dan perbandingan, Jakarta: UI Press.
1 komentar so far
mantab!!
EmoticonEmoticon